SEJARAH ISLAM DI BALI



SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM KE PULAU BALI
Berbicara mengenai sejarah masuknya Islam di Bali sangat menarik untuk dicermati.  Meskipun Bali dikenal sebagai pulau yang dihuni oleh mayoritas Hindu, namun ternyata terdapat pula masyarakat Muslim yang telah berabad lamanya menghuni pulau Bali dan hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu. Sejarah masuknya Islam di Bali ternyata berbeda-beda di setiap kabupaten dan memiliki keunikan tersendiri.  Berdasarkan catatan sejarah, disebutkan bahwa Islam masuk ke Bali sejak abad ke-14, tepatnya di daerah Gelgel, kabupaten Klungkung.  Berdasarkan cerita rakyat turun-temurun, cikal bakal orang Islam pertama yang datang ke Gelgel (pusat pemerintahan di Bali sejak abad ke- 14) adalah para pengiring Dalem dari Majapahit berjumlah 40 orang pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, Raja Gelgel I. Raja Dalem Ketut yang masih termasuk dinasti Majapahit mendirikan Kerajaan Gelgel, yang pada saat itu masih di bawah naungan kerajaan Majapahit. Dikisahkan, setelah Majapahit runtuh, datanglah Ratu Dewi Fatimah dari Majapahit yang beragama Islam dengan niat untuk mengajak Raja Dalem Ketut memeluk Islam dan bersedia menjadi istri apabila Raja Dalem Ketut menjadi Muslim. Konon, upaya Ratu Dewi Fatimah gagal karena upaya yang semestinya mengkhitan Raja Dalem Ketut ternyata tidak mampu memutuskan bulu kaki Raja Dalem Ketut. Akhirnya Ratu Dewi Fatimah kembali ke Loloan (kabupaten Jembrana) tempat pertama beliau mendarat. Setelah Ratu Dewi Fatimah meninggal, para pengiringnya kembali ke Gelgel dan bermukim di sana. Sejak saat itulah terdapat pemeluk Islam di Gelgel.
Gelombang berikutnya, Islam masuk ke Bali sejak abad ke-17, berawal dari datangnya para pelaut Bugis yang melakukan hubungan dagang. Melalui hubungan dagang inilah Islam diperkenalkan ke masyarakat Bali dan berkembang secara damai. Menurut sumber-sumber lokal, kelompok orang-orang Bugis ini dikenal dengan sebutan "wong sunantara" atau "wong nusantara". Gelombang masuknya Islam ke Bali menunjukkan intensitas yang tinggi pada tahun 1667 setelah terjadi perang Makassar di mana para pedagang dan bangsawan Bugis-Makassar meningalkan daerahnya untuk menghindari diri dari kejaran Belanda dan akhirnya mendarat di Badung, Buleleng dan Jembrana.  Ketiga daerah ini kemudian menjadi pusat kekuatan orang-orang Bugis di Bali. Hingga kini masyarakat Muslim paling banyak terdapat di Badung, Buleleng dan Jembrana.
Sisa-sisa pelaut Bugis yang melarikan diri menuju Badung merupakan pelaut-pelaut Bugis Wajo. Para pelaut Muslim ini berlabuh di pelabuhan Serangan yang merupakan pelabuhan penting di kabupaten Badung, termasuk Kuta yang terletak di Bali Selatan. Berdasarkan laporan salah seorang utusan Belanda, pada tahun 1828-1830 Kuta merupakan daerah pelabuhan dan tempat berdagang yang ramai dengan penduduknya terdiri atas 30 KK orang Bugis dan 30 KK orang Bali yang memeluk Islam. Sementara itu, beberapa penduduk asli di pesisir pantai seperti di Serangan, Suwun, Tuban telah memeluk Islam karena pergaulannya dengan para pelaut Bugis yang tinggal di pesisir pantai, sehingga sering disebut sebagai Bali Islam. Orang-orang Bugis yang bermukim di pesisir pantai di Bali Selatan ini kemudian membentuk pemukiman Muslim yang masih ada hingga saat ini. Proses terbentuknya masyarakat Islam di Badung yang dibawa oleh para pelaut dan pedagang Bugis juga dapat dilihat dari berdirinya masjid. Menurut cerita raja Pamecutan IX (Cokorde Pamecutan) masjid pertama yang didirikan di daerah Badung adalah masjid orang-orang Bugis di Serangan yang mendapat bantuan dari kerajaan di mana marmer yang dipasang di dalam masjid didatangkan dari Cambay Gujarat-India. Kemudian orang-orang Bugis juga membangun masjid di daerah Suwung.
Masuknya Islam ke Serangan berkaitan erat dengan kedatangan pedagangpedagang Bugis di Serangan. Meskipun belum ada catatan yang pasti, diperkirakan orang-orang Bugis telah bermukim di Bali Utara pada 1642. Sementara di Bali Barat, orang-orang Bugis datang pada tahun 1669. Berdasarkan cerita turun-temurun orang-orang Bugis yang bermukim di Serangan berasal dari Lombok dan Sumbawa. Mereka bermukim di Badung setelah terjadi penggabungan Sumbawa dan Lombok. Di mana pada periode abad ke-17, Kerajaan Gelgel di Bali mengalami kejayaan dan wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Bali, Lombok dan Sumbawa.
Berbeda dengan di Serangan, Islam masuk ke Kepaon didasari oleh perkawinan antara puteri Raja Badung Anak Agung Ayu Rai dengan Raden Sastraningrat dari Jawa yang beragama Islam dan keduanya menetap di Badung. Hal ini terkait dengan peristiwa politik di mana pada saat itu Kerajaan Badung menyerang Kerajaan Mengwi dan tentara Badung dibantu oleh orang-orang Islam yang awak perahunya kandas di Tuban (Badung) di bawah pimpinan Raden Sastraningrat. Pada saat itu raja yang berkuasa adalah Raja Pamecutan III bergelar Betara Sakti dan bernama lengkap I Gusti Made Pamecutan. Raja Pamecutan membuat perjanjian dengan Raden Sastraningrat apabila berhasil membantu mengalahkan kerajaan Mengwi maka raja akan memberi kebebasan kembali dan akan dinikahkan dengan puterinya Anak Agung Ayu Rai. Pada akhirnya kerajaan Badung berhasil mengalahkan kerajaan Mengwi. Raja pun kemudian menepati janjinya dengan menikahkan puterinya dengan Raden Sastraningrat. Setelah dibawa ke Madura untuk diupacarai sesuai dengan agama Islam, Anak Agung Ayu Rai kemudian memeluk agama Islam. Keduanya kemudian kembali ke kerajaan Badung. Namun, terjadi peristiwa tragis di mana Anak Agung Ayu Rai tewas pada saat menunaikan sembahyang ashar. Raja dan keluarga yang tidak memiliki pemahaman tentang Islam mengira bahwa Ayu Rai tengah melakukan ilmu sihir (leak) dan kemudian memerintahkan pepatihnya untuk membunuh Anak Agung Ayu Rai. Puteri raja tersebut kemudian dimakamkan di Kuburan Badung. Sepeninggal isterinya, Raden Sastraningrat kemudian pindah ke Ubung hingga wafat dan dimakamkan di Kuburan Ubung. Sepeninggal Raden Sastraningrat dan Anak Agung Ayu Rai, pengikutnya yang beragama Islam kemudian dipindahkan ke daerah Munang-Maning (sekarang terletak di Jl. Imam Bonjol). Karena dianggap tidak cocok, akhirnya Raja memberikan tempat lain bagi para pengikut tersebut di daerah Kepaon. Hingga kini terkenal menjadi Kampung Islam Kepaon yang pada perkembangannya ditempati oleh orang-orang Islam dari berbagai suku seperti Jawa, Madura, Bugis dan Palembang.
Di Denpasar, khususnya di Kampung Wanasari atau Kampung Jawa, orang-orang Islam dari Jawa telah bermukim sejak abad ke-19, dipelopori oleh seseorang bernama Iskandar yang makamnya masih ada hingga sekarang. Demikian pula dengan orangorang India dari Gujarat juga bermukim di Kampung Jawa. Pada awal abad ke-20 banyak orang Islam dari Jawa, Madura dan Sasak yang bermukim di Kampung Jawa karena faktor ekonorni. Karena Kampung Jawa ini dihuni oleh Muslim dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bugis, Sumbawa dan suku lainnya, maka dapat dikatakan kampung ini bagaikan miniatur Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan versi Babad Buleleng, masuknya Islam ke Buleleng terjadi pada masa pemerintahan I Gusti Ngurah Panji (Ki Panji Sakti). Pada tahun 1587 I Ki Panji Sakti pergi berperang ke Blambangan dan berhasil mengalahkan raja Blambangan yang tewas tertikam oleh keris Ki Panji Sakti yang terkenal dengan nama Ki Semang. Berita kemenangan Ki Panji Sakti terdengar oleh Dalem Solo (Raja Mataram) yang kemudian menawarkan persahabatan. Sebagai tanda persahabatan, Dalem Solo menghadiahkan seeker gajah untuk kendaraan Ki Panji Sakti yang diantarkan oleh tiga orang Jawa yang beragama Islam dan sekaligus menjadi penggembala gajah tersebut. Sekembalinya dari Blambangan, Ki Panji Sakti membangun istana baru dengan nama "Singaraja". Gajah pemberian Dalem Solo ditempatkan di "petak" (kandang) di sebelah utara istana. Kemudian dikisahk:an bahwa penggembala gajah itu dibagi dua, dua orang bermukim di sebelah utara Banjar Petak yang kemudian terkenal dengan nama Banjar Jawa. Seorang penggembala lainnya bermukim di Lingga (Tegallinggah) karena berasal dari Prabu Lingga (Probolinggo). Diantara Banjar Jawa dan Banjar Petak terdapat sebuah Banjar yang disebut Banjar Peguyangan karena merupakan tempat pemandian gajah pemberian Dalem Solo di mana gajah itu bebas berguling (ngguyang artinya memandikan binatang). Sebagian warga Muslim kemudian dipindahkan dari Banjar Jawa oleh raja di Pegatepan yang terkenal dengan nama desa Pegayaman. Penduduk di sini mendapat tugas menjaga keamanan daerah pegunungan di Buleleng.
Versi lain menyebutkan bahwa dalam peperangan di Blambangan, Panji Sakti dibantu oleh laskar yang terdiri atas orang-orang Bugis-Mandar yang sebelumnya bermarkas di teluk Prampang-Blambangan. Orang-orang Islam ini kemudian dibawa oleh Panji Sakti dari Blambangan ke Buleleng karena berjasa membantu kemenangannya. Sampai saat ini mereka mendiami desa Pegayaman dan desa Tegallinggah. Mereka juga membawa senjata dan panji-panji perang yang bertuliskan kalimat syahadat.
Sementara itu, masuknya Islam di Jembrana terjadi dalam dua tahap. Berdasarkan sumber-sumber lokal dan tulisan-tulisan milik Datuk Haji Sirad mengungkapkan bahwa datangnya orang-orang Islam dari Bugis/Makassar terjadi pada periode 1653-1655 dan periode 1660-1661 pada saat terjadi peperangan antara Makassar dan VOC (Belanda). Dikisahkan bahwa setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun 1667, Belanda menjanjikan hadiah sepuluh ribu ringgit bagi siapa saja yang berhasil menangkap eskadron perahu-perahu keturunan Sultan Wajo dan menyebut mereka sebagai "pembajak illanun" . Para pelaut Bugis keturunan Sultan Wajo ini sulit tertangkap oleh Belanda dan bersembunyi di teluk Prampang Blambangan. Pada tahun 1669 Daeng Nachoda hijrah ke Bali dan mendarat di Air Kuning dan menetap sementara di daerah yang mereka namakan Kampung Bali. Mereka kemudian melayari sungai besar berbelokbelok arah utara kiri kanan penuh hutan paya dan binatang buaya. Setelah mengetahui bahwa daerah yang mereka tempati adalah bagian dari kerajaan Jembrana di bawah kekuasaan Arya Pancoran, mereka meminta izin untuk menetap dan berdagang di pelabuhan yang diberi nama Bandar Pancoran (bekas pelabuhan lama di Loloan Barat). Orang-orang Bugis/Makassar itulah yang pertama kali memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Jembrana yang beragama Hindu yang mana terdapat pula seorang keluarga I Gusti Ngurah Pancoran memeluk agama Islam.
Pada tahap kedua, di pantai Air Kuning mendarat beberapa perahu Bugis/Makassar yang kemudian meminta izin raja untuk menetap berkebun kelapa dan mencari ikan serta menolong masyarakat yang terkena penyakit. Mereka adalah mubaligh Islam yang terdiri dari Haji Shihabuddin (asal Buleleng suku Bugis), Haji Yasin (asal Buleleng suku Bugis), Tuan Lebai (asal Serawak suku Melayu), dan Datuk Guru Syekh (suku Arab). Tak lama kemudian, di pantai Air Kuning datang iring-iringan perahu layar bersenjatakan meriam yang merupakan sisa eskadron Sultan Pontianak di bawah pimpinan Syarif Abdullah bin Y ahya Maul ana AI Qodery yang meninggalkan Pontianak setelah jatuh ke tangan Belanda. Mereka kemudian menyusuri sungai Ijo Gading menuju Syahbandar. Syarif Abdullah dan anak buahnya yang berasal dari Pahang, Trengganu, Kedah, Johor dan beberapa keturunan Arab, takjub oleh keindahan pemandangan sungai yang berliku-liku berbelok dan berteriak memberi komando kepada anak buahnya dalam bahasa Kalimantan "Liloan" (berbelokan). Anak buahnya kemudian menamakan sungai ini dengan nama "Liloan" dan kemudian menjadi nama perkampungan "Loloan" sekarang. Syarif Abdullah yang dikenal dengan nama Syarif Tua menjadi pemuka Islam yang disegani di Jembrana dan bersama laskarnya menjadi kekuatan yang menentukan Kerajaan Jembrana. Syarif Tua dibantu oleh tetua masyarakat Islam lainnya yang berperan penting dalam masyarakat seperti Mahbubah yang diangkat sebagai penghulu, Abdul Hamid sebagai khotib, Amsyik sebagai pembekel Islam dan Panglima Tahal sebagai kepala keamanan. Mereka kemudian membangun sebuah masjid besar di Jembrana.

0 komentar:

Posting Komentar

Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 Materi TP All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes
Blogger Templates